Kisah Al-Qur’an dalam Tafsir Modern: Peninjauan Narasi Kisah Nabi Sulaiman dan Harun dan Narut dalam Q. 2:102 Menurut Tafsir al-Azhar Karya Hamka
Kisah Al-Qur’an dalam Tafsir Modern:
Peninjauan Narasi Kisah Nabi Sulaiman dan Harun dan Narut dalam
Q. 2:102 Menurut Tafsir al-Azhar Karya Hamka
Tafsir Al-Qur’an merupakan ingatan historis mengenai keterlibatan Muslim yang Secara terus menerus bergumul dengan pencarian makna Al-Qur’an. Interpretasi Ayat-ayat Al-Qur’an telah dimulai sejak zaman kenabian Muhammad Saw. Dan Akan senantiasa terus dilakukan di sepanjang sejarah eksistensi umat Muslim. Keniscayaan ini didorong oleh kepentingan setiap zaman untuk selalu dekat dengan Al-Qur’an, serta kepentingan memahaminya sesuai dengan konteks ruang dan waktu yang senantiasa berubah. Penyesuaian tersebut melahirkan ragam Interpretasi yang dilakukan oleh penafsir atas teks Al-Qur’an. Keragaman Interpretasi yang dilakukan melibatkan horizon pra pemikiran dari seorang Penafsir menjadi suatu hal yang sangat menentukan bunyi suatu tafsiran. Karya tafsir yang dianggap cukup otoritatif pada masanya menjadi rujukan Atau referensi utama bagi sejumlah tafsir lainnya yang lebih terbatas otoritasnya atau tafsir-tafsir pinggiran lainnya. Hal ini membentuk stabilitas genre Sekelompok tafsir tertentu melalui jaringan otoritas yang berpijak pada hubungan Antara setiap penafsir karena saling mengutip satu dan lainnya. Hubungan yang bersifat referensial ini dapat membuktikan bahwa realitas tafsir mulanya berjalan Berbasis pada serikat. Namun demikian, serikat penafsir ini tidak memiliki tangan yang bebas. Otoritas mereka untuk melakukan interpretasi atas ayat-ayat Al-Qur’an perlu untuk selalu dijaga, ditegaskan, bahkan dibangunkan kembali. Kondisi ini bertujuan untuk menghadapi tantangan dari pusat-pusat otoritas lain Yang sama-sama mengklaim paling otoritatif dalam memaknai Al-Qur’an. Tak Dapat dipungkiri, persaingan jaringan sosial juga terjadi di tengah-tengah Sejumlah kelompok otoritas penafsir Al-Qur’an, di antaranya: kelompok para ahli hukum, para revolusioner karismatik, dan para teolog.
Kontestasi yang terjadi Sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, menjadi hal menarik untuk dielaborasi secara mendalam. Elaborasi ini digunakan untuk membaca genealogi Perkembangan historisitas tafsir dan melakukan pemetaan metode interpretasi apa saja yang mereka pakai. Suatu karya tafsir bukanlah lahir dari ruang hampa. Seorang penafsir dalam menginterpretasikan ayat Al-Qur’an dipengaruhi oleh ragam faktor seperti latar Belakang keilmuan/pemikirannya dan basis identitas sosial yang melatar belakanginya. Faktor-faktor tersebut membentuk identitas penafsir yang Tidak dapat terlepas dari bias kelompok otoritas tertentu. Pembentukan ini dapat Diidentifikasi melalui pengambilan referensi atau materi serta metode yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an.3 Kita dapat mengamati bahwa di setiap Zaman yang berbeda telah lahir sejumlah penafsir Al-Qur’an yang memiliki ciri Khas tersendiri dalam menginterpretasikan Al-Qur’an. Oleh karena itu, untuk meninjau suatu kekhasan dari karya tafsir tertentu, kita perlu menempatkannya pada konteks sosial, budaya, dan politik yang melingkupinya. Melalui artikel ini, saya akan mengeksplorasi sejauh mana konteks lokal dan modern para mufassir telah membentuk, dan dibentuk oleh pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an. Bagaimana perbedaan mekanisme penafsiran yang dilakukan oleh mufassir modern dan klasik? Asumsi yang mendasari pertanyaan ini ialah bahwa tafsir Al-Qur’an merupakan wacana yang dinamis pada kadar tertentu bersifat dialektis dan terus berkembang. Jika pembagian tafsir era klasik dan modern bukan hanya berpijak pada distingsi yang berifat kronologis atau Periodis, lalu apa yang membedakan keduanya Bagaimana mekanisme penafsir di bawah kondisi negara bangsa modern tanpa harus membatasi area yang diminati pada label tafsir tertentu, baik itu reformis ataupun Islamis? Abdul Mustaqim memetakan perkembangan tafsir Al-Qur’an secara epistemik ke dalam tiga bagian, yakni: era formatif dengan nalar quasi-kritis, era afirmatif dengan nalar ideologis, dan era reformatif dengan nalar kritis. Era formatif diasosiasikan sebagai era klasik di mana tafsir sedang dalam proses pembentukan awal, dan yang dimaksud ialah masa ketika Nabi Muhammad seolah “dimitoskan” Menjadi satu-satunya pemegang otoritas tunggal kebenaran tafsir.
Era afirmatif merujuk pada abad pertengahan yang diwarnai oleh munculnya nalar ideologis penafsiran yang berpijak pada ideologi mazhab atau sekte keagamaan dan keilmuwan tertentu. Sedangkan era refomatif merujuk pada era modern yang ditandai dengan munculnya nalar kritis dalam tafsir Al-Qur’an untuk menjawab tantangan mazhab-mazhab sektarian pada masanya. Menurut saya, ketiga pembagian tersebut menggunakan metode periodisasi yang dilandaskan pada urutan kemunculan tafsir Al-Qur’an yang berimplikasi pada pembedaan antara tafsir Al-Qur’an klasik dan modern. Walaupun kita juga tidak dapat menafikan bahwa perkembangan pemikiran tentang tafsir Al-Qur’an merupakan suatu fenomena kesejarahan, tetapi pembacaan secara periodik ini tidak cukup menjawab secara signifikan permasalahan epistemologis dari perdebatan akademik terkait tafsir modern, dan juga tidak cukup menjadi dasar untuk dapat membedakan karakter khas mekanisme penafsiran dari dua subjek tafsir (tafsir klasik dan modern) untuk menemukan metode tafsir yang mendasarinya.
Komentar
Posting Komentar