ESAN MORAL DIBALIK KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDIR DALAM QS. AL-KAHFI

 

PESAN MORAL DIBALIK KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDIR

DALAM QS. AL-KAHFI

(Studi Atas Penafsiran al-Razi dalam Mafa>tih{ al-Ghayb)

          Kisah Nabi Musa dalam al-Quran tersebar dalam 20 surah dan termasuk dalam kisah yang paling banyak dimuat dalam al-Qur’an. Sejumlah surah yang cukup representatif menggambarkan kisah ini di antaranya: Q.S al-A'raf, al-Kahfi, Thaha, as-Shu'ara’, dan al-Qashash. Sedangkan beberapa surah yang secara repetitif, segmentatif  (sepotong-sepotong), dan global mengisahkan Nabi Musa adalah Q.S al-Baqarah, Al-Imran, al-Maidah, Yunus, Ibrahim, al-Isra’, al-Hajj, al-Mukminun, al-Furqan, al-Naml, al-Ankabut, alMukmin, al-Dukhkhan, al-Shaff, dan al-Naziat. Salah satu surah yang memaparkan kisah Nabi Musa yakni dalam Q.S. al-Kahfi yang diawali pada ayat ke enam puluh. Ayat tersebut mengisahkan Nabi Musa As yang telah diperintah oleh Allah secara langsung bersama pemuda (hamba) untuk belajar ilmu laduni kepada Nabi Khidir As. Dalam proses mencari ilmu tersebut, pemuda yang mendampinginya lupa mengatakan kepada Nabi Musa bahwa ikan yang dibawanya loncat dengan cara yang menakjubkan. Dalam segmen kisah yang lain, diceritakan bahwa Nabi Musa sempat melanggar syarat yang telah ditetapkan oleh Nabi Khidir. Hingga pada akhir pertemuan, Nabi Khidir menjelaskan apa maksud dari syarat yang telah ditetapkannya karena persyaratan itu tidak pula atas kemauan dari Nabi Khidir sendiri melainkan atas petunjuk Allah Swt. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat 82 yang sekaligus menjadi akhir dari perjalanan kisah Nabi Musa mencari ilmu kepada hamba Allah. Pemaparan kisah dalam al-Qur’an tentunya menarik untuk dikaji. Bahasa dan al-Qur’an merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu. Bahasa al-Qur’an memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain. Hal itu sekaligus menunjukkan nilai kemu’jizatannya. Ia bukan hanya mengacu pada dunia empirik, tetapi juga mengacu pada dimensi metafisik. Sebab itu, dalam upaya mengatasi stagnasi bahasa, maka sangat realistis bilamana kemudian di dalam al-Qur’an ditemukan penggunaan bahasa metafor dan analogi. Penggunaan bahasa metafora dan analogi sendiri disinyalir dapat menjembatani rasio manusia yang terbatas dengan bahasa al-Qur’an yang serba tidak terbatas. Hal ini sejalan dengan apa yang ditempuh oleh tokoh tafsir abad pertengahan, Imam Fakhruddin al-Razi, yang secara umum memilih metode kalam dengan pendekatan filosofis dalam menafsirkan.

          Meski terkadang kesan yang muncul dari karyanya melebihi dari yang seharusnya disampaikan. Berawal dari sekilas pemaparan kisah diatas, penulis kemudian tertarik untuk menelaah pesan moral kisah tersebut dengan menginterpretasikannya. Adapun sumber penafsiran yang akan dijadikan rujukan utama yaitu penafsiran tokoh tafsir abad pertengahan, Imam Fakhruddin al-Razi, dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghayb. Kitab ini  mendapatkan banyak apresiasi, sebagaimana al-Zahabi menyebutkan bahwa kitab tafsir ini menjelaskan berbagai macam perspektif ilmu seperti: ilmu fiqih, ushul, nahwu, kesehatan, dan filsafat. Al-Zahabi juga mengutip dalam kitab Kashf al-Zunnun bahwa kitab ini banyak pula berisi kalam-kalam ahli hikmah dan filsafat.8 Adapun dalam mencari pesan moral tersebut penulis menggunakan pendekat hermeneutika Hans Georg Gadamer. Gadamer menegaskan bahwa persoalan hermeneutik bukanlah persoalan tentang metode dan tidak mengajarkan tentang metode yang dipergunakan dalam geisteswissenschaften. Hermeneutika itu sebagai bahasan tentang hakikat pemahaman dan filsafatnya. Gadamer pun berpandangan bahwa penafsiran itu terus berkembang, ia adalah dialog yang berlangsung secara terus menerus antara penafsiratau penakwil dan teks. Oleh karena itulah, maka tidak memungkinkan adanya pengetahuan substansi atau pemahaman maksud pengarang, sebagaimana yang dianut oleh Schleirmarcher dan Wilhelm Dithley.

          Gambaran Umum tentang Surah al-Kahfi Surat al-Kahfi menempati urutan ke 18 dalam al-Qur’an yang turun setelah surat alIsra’ dan sebelum surat Maryam. Ayat-ayatnya terdiri atas 110 ayat yang menurut mayoritas ulama kesemuanya turun sekaligus sebelum nabi Muhammad pergi hijrah ke Madinah. Dalam Tafsir al-Misbah, dengan mengutip pendapat dari Tabattaba’i, M. Quraish Shihab menerangkan bahwa surat al-Kahfi  ini mengandung ajakan menuju kepercayaan yang benar dan beramal saleh melalui pemberitaan yang menggembirakan dan peringatan, sebagaimana terbaca pada ayat-ayat awal dan akhir dari surat ini. Sebagian besar dari ayat-ayat ini adalah mengambarkan peristiwa kiamat. Benang merah dan tema utama ayat ini adalah menghubungkan kisah-kisah yang ada dalam surah ini dengan pelurusan aqidah. Senada dengan hal tersebut, menurut Sayyid Quthb, adalah suatu kepercayaan yang selalu benar karena hal ini yang dikisahkan langsung dari al-Qur’an yang hakikatnya langsung dari Allah yang mengetahui segala sesuatu. Selanjutnya, surat al-Kahfi  ini mempunyai muatan-muatan pokok yaitu kisah yang mengarahkan jiwa sebagai cermin yang menyingkap ilmu kekuasaan alam dan ilmu ketuhanan sehingga tidak ada keraguan didalamnya dan inilah sebagian kenikmatan yang besar. Sederhananya terdapat tujuh kategori dalam kelompok ayat.

1.      Tentang ancaman pada kepercayaan Tuhan yang mempunyai anak.

2.      Tentang kisah Ashabul Kahfi.

3.      Tentang petunjuk dalam berdakwah Nabi Muhammad Saw untuk tidak mementingkan berdakwah kepada orang-orang terkemuka saja.

4.      Kisah Nabi Musa mencari ilmu kepada Nabi Khidir.

5.      Kelima, kisah Dhulqarnain dengan Ya’juj dan Ma’juj.

6.       Keterangan tentang azab bagi kaum mushrik dan pahala bagi orang beriman.

7.      Keterangan tentang keluasan ilmu Allah yang tak terbatas.

Berkaitannya dengan penjelasan mengenai Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang terdapat pada ayat 60-82, maka penulis mengelompokkannya pada bagian tengah-tengah dari surat al-Kahfi, dan dari pengelompokkan tersebut tentunya mempunyai makna (pesan moral) tersendiri. Yaitu, adanya hubungan antara makna yang tersirat dan makna yang tersurat sehingga membuahkan pemahaman yang luas akan kekuasaan Allah Swt yang tak terbatas. Sebagaimana contoh dalam penafsiran al-Razi tentang ilmu26. Sebagaimana berikut:

( علم الرشيعة َ/علم املعاملة ) Lahiriyah ilmu ,Pertama Suatu ilmu yang dibangun atas dasar fakta-fakta hukum syar’i.

( علم اَلقيقةَ/َعلم املاكشفة ) Batiniyah ilmu ,Kedua Suatu ilmu yang dibangun atas dasar pemurnian batin dan pelepasan nafsu serta pensucian hati dari relasi jasad/badan.

Narasi Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Q.S al-Kahfi (15): 60-82 Sebagaimana pada latar belakang, penulis telah memaparkan bahwa Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir terletak pada surat al-Kahfi ayat 60-82. Kisah ini bertujuan sebagai penegasan maksud terhadap kisah Ashabul Kahfi dan kisah orang-orang kafir yang menyombongkan harta mereka kepada fakir miskin dari kalangan muslim dan Anshar. Dari hal tersebut, penulis mengasumsikan bahwa penafsiran Al-Razi merupakan salah satu bentuk korelasi ayat dengan ayat yang menunjukkan bentuk satu kesinambungan dari kisah sebelumnya.

Dalam kitab Mafatih al-Ghayb rangkaian kejadian tersebut dibagi menjadi 5 tahap: pertama, perjalanan Nabi Musa bersama pemuda; kedua, pertemuan Nabi Musa dan pemuda sekaligus permohonannya kepada Nabi Khidir sebagai guru; ketiga, peristiwa pelubangan kapal; keempat, peristiwa pembunuhan anak (ghulam); kelima, penegakan dinding yang hampir roboh sekaligus perpisahan Nabi Musa dan Nabi Khidir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketentuan PKKMB Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat 2023

PRESS RELEASE BUSINESS PLAN COMPETITION PUBLIC HEATH FAIR (PHF)

PRESS RELEASE KEGIATAN