Cinta Sufi Sayyidah Rabi'ah Al-Adawiyah
Rabi’ah binti Ismail al-'Adawiyah al-Basriyah adalah anak perempuan keempat yang dilahirkan dengan latar Basrah. Ayahnya bernama Isma’il yang merupakan seorang yang ahli ibadah. Sedang gelar yang sering disematkan kepada Rabi'ah, ‘al-Adawiyah dan al-Qaysiyah' lebih sebagai identitas kesukuan, yakni suku Qayb b. ‘Ady.
Beliau lahir sekitar 95 H/99 H (717 M) di
Basra dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Kota itu. Ia wafat pada tahun
185 H (801 M) dan dikebumikan di Basra. Rabi'ah Al-Adawiyah terlahir di
keluarga miskin. Ketika mencapai usia remaja, ayahnya meninggal dan ia menjadi
yatim. Kondisi yang sangat sulit menyebabkan harus berpisah dengan saudaranya.
Dalam kesendirian kemudian ia bertemu seorang yang menjualnya sebagai budak.
Kehidupan Rabi'ah setelah menjadi budak
memaksanya untuk bekerja keras untuk melayani keluarga tuannya sepanjang hari,
namun demikian pada malam hari Rabi'ah masih menyempatkan untuk bermunajat
kepada Allah. Sampai kemudian tuannya mengalami kejadian menakjubkan yang ia
temukan pada diri Rabi’ah ketika melaksanakan sholat. Dari kepala Rabi'ah terancam
cahaya yang sangat terang. Maka pada pagi harinya, tuannya memerdekakan Rabi'ah.
Setelah menjadi perempuan merdeka ia pergi ke gurun dan tinggal di sana
beberapa waktu kemudian kembali ke Basra dimana pengalaman sufistik cintanya
semakin mendalam. Kehidupan keras yang dialami Robi'ah sejak kecil sampai dewasa
membentuk karakter psikisnya sebagai perempuan yang mandiri dan hanya bersandar
pada Allah.
Pada masa hidupnya, Rabi’ah dinarasikan sebagai
perempuan yang tidak menikah, meskipun ia tidak anti pernikahan. Kondisi ini
lebih pada efek kondisi spiritualnya yang telah menemukan hakikat dan cintanya
kepada al-Khaliq. Pada pengalaman hidupnya, ada beberapa lamaran yang ditujukan
kepadanya untuk menikah dari beberapa lelaki dari kalangan bangsawan dan sufi
semisal ‘Abd. Wahid b. Zayd (792 M), Muhammad b. Selamanya al-Hashimi (172 H)
dan dari sufi masyhur kala itu Hasan al-Basri rancuh, jika kita perhatikan perbandingan
masa hidup tokoh tersebut. Namun semua lamaran pernikahan itu ditolak oleh Rabi'ah
dengan argumentasi sufistis yang menjadikan Rabi'ah populer dengan konsep cinta
sufinya.
Konsep cinta sufi Rabi’ah juga yang
menghantarkan pada penolakan pernikahan, karena dianggap dapat memalingkan dari
cinta hakikatnya. Hal ini dipaparkannya dalam suatu pertanyaan yang di sodorkan
padanya, “Ada tiga hal penyebab kebimbanganku. Apabila terdapat seseorang yang
mampu menghantarkan ku pada tiga hal ini, maka aku akan menikah dengannya :
yang pertama, apabila aku meninggal, aku dapat menemui-Nya dengan iman yang
murni. Yang kedua p, apabila aku mendapat rapot pahalaku dengan tangan kanan di
hari akhir nanti. Yang ketiga, apabila telah tiba hari pembangkitkan, golongan
kanan akan masuk surga, dan golongan kiri akan ditenggelamkan di lautan api
neraka. Di antara kedua tempat itu, siapakah yang menjamin tempat ku.
Sang penyodor permasalahan tak kuasa
menjawab, hanya sekelumit ujar, “Aku tak mengetahui sedikitpun tentang itu.
Yang mengetahui hanya Sang Pencipa”. Rabi’ah lantas menjawab “Kalau memang begitu, bagaimana mungkin aku
membutuhkan pernikahan p sedang diriku
masih beriteguh dengan tiga perkara ini”,
#HMKMUNUSA
#DIVISI ROHANI
#JUM'AT BAROKAH
#KABINETARKANANTA
Komentar
Posting Komentar